Mas Wiet
[Biasa wae ...]

CURRENT MOON

moon info

Links
 
GO
Aku hanyalah orang biasa saja. about
S M T W T F S
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 Please don't contact me. contact
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28
29 30 31         Coretan kata ungkapan hati dan pikiranku. this

Powered by Blogger

Monday, February 20, 2006

Risalah do'a

DOA MOHON DI KARUNIAI ANAK

Bismillahirrahmanirrrahiim. Robbi laa tadzami fardan wa anta khoirul waaritsiina

Artinya : " Dengan nama Allah maha pengasih lagi maha penyayang. Wahai Tuhaku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup sendirian dan Engkaulah pewaris yang paling baik"

DOA MENGHADAPI KELAHIRAN

Laa ilaaha illallaahul 'adliimulhaliimu laa ilaaha illallaahu robbul 'arsyil 'adliimi. Laa ilaaha illalaahu robbus samaawati wal ardhi wa robbul 'arsyil kariimi.

Artinya : "Tiada Tuhan yang patut untuk disembah melainkan hanya Allah Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Penyantun. Tiada Tuhan yang patut untuk disembah melainkan hanya Allah tuhannya 'Arsy yang agung. Tiada Tuhan yang patut untuk disembah melainkan hanya Allah, Tuhannya langit dan bumi dan Tuhan arsy yang mulia".

DOA PERLINDUNGAN BAGI SANG BAYI

U'iidzuka bi kalimaatillahittaammaati min kulli syaithaanin wa haammatin wa min kulli 'ainin laammatin

Artinya : "Aku berlindung kepadamu dengan kalimat Allah yang sempurna dari gangguan syetan dan binatang melata dan dari semua pandangan yang ditakuti".

Saturday, August 27, 2005

Negeriku

Di Cina para koruptor dihukum mati. Oleh pengadilan. Atas vonis hakim.
Di negeriku hakim-hakim baik dimatiin. Oleh para pembunuh. Atas perintah koruptor.

Di Jerman ada program wajib belajar 13 tahun. Karena wajib, maka sekolah gratis. Karena wajib maka murid yang bolos ditangkap polisi.
Di negeriku ada program wajib belajar 9 tahun. Tapi sayangnya negeriku tidak tahu artinya wajib. Kecuali wajib membayar. Membayar apa saja. Kalau tidak kuat bayar? Cari aja tali jemuran. "Gitu aja kok repot", begitu kalau orang di negeriku ngomong. Atau ngucap "kaciaan... dech lu".

Negeriku. Kapan hal ini akan berakhir?

Friday, August 19, 2005

Niat nulis lagi....

Hehehe, bisanya cuman niat aja. Padahal ndak bisa nulis heee ^_^. Tapi mending, kan. Niat saja - konon sudah berpahala.
Aniwe. Mmm mo nulis apa ya. Ini aja. Nggreneng aja, ah. (Ngopi istilahnya mas Edy Duersedolf).

Pagi ini ada group meeting dengan boss. Ini adalah group meeting pertama setelah boss pergi "Urlaub". Seperti biasanya meeting molor 5 menit dari jadwal yang disepakati. Kayaknya kebiasaan molor nular juga nich ke orang Jerman. Yang menarik dalam meeting ini, selain diskusi masalah pekerjaan saya dengan boss adalah cerita beliau diawal meeting, bahwa Boss besarnya DFG, atau lembaga penelitian Jerman (mungkin BPPT atau LIPI - nya Indonesia) baru2x ini mengatakan. "Silakan wujudkan mimpi-mimpi ilmiah anda, Hai para ilmuwan, Kami siap membiayai".
Duh enaknya jadi ilmuwan di Jerman.

Bersambung entah kapan ....

Wednesday, June 01, 2005

Niat nulis lagi ...

Waa.. sudah hampir 2 bulan ndak corat-coret blog lagi. Maklum lah lagi banyak pikiran .. hehehe. (emang apa yang dipikirin?)
Hari ini lagi bingun mikirin apa itu "normal mode". Kemaren abis dikasih script ama boss, yang dapat dipakai untuk menghitung toroidal l-mode untuk bola bumi yang simetris. Script udah saya compile menggunakan "f2c" compiler yang saya peroleh di http://www.llnl.gov/casc/Overture/henshaw/install/node6.html.
Script tersebut udah bisa jalan, tapian saya ndak tahu file outputnya itu punya ukuran berapa kali berapa. Soalnya format filenya adalah biner yang saya sama sekali ndak familier. Untung di Matlab ada fasilitas fopen.
Duh udah bulan Juni, ya. Bentar lagi Juli, Aug, Sept ... waduh waktu terus mengejarku ....

Friday, March 11, 2005

Antropologi Politik (dari Cak Nur)

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat sejahtera untuk kita semua.

Terima kasih Bapak Duta Besar, ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, teman-teman, saudara-saudara. Suatu kehormatan besar sekali, karena itu sekali lagi terima kasih. Saya mohon maaf, barangkali tidak bisa terlalu lama di sini karena, tadi ada kesempatan sedikit longgar saya pakai untuk bikin makalah, ternyata belum selesai juga. Padahal begitu datang di Jakarta saya harus ke Taiwan. Setelah itu pulang lagi, terus ke Oslo. Pulang lagi, lalu mungkin ke Jenewa ada ILO di situ, terus menerus. Kebanyakan mereka minta bahan tertulis. Hal tersebut menunjukkan memang banyak sekali perhatian terhadap negara kita dan yang menerima kehormatan undangan seperti itu tidak hanya saya, banyak sekali teman-teman kita yang lain. Jadi kita ini memang menjadi pusat perhatian dunia dan karena itu sewajarnya kita memahami sedikit lebih mendalam begitu, kalau bisa, supaya kita mengetahui persis apa persoalan kita sebenarnya. Tentu, perkataan yang paling tepat bahwa negara kita sekarang ini sedang ber-eksperimen dengan demokrasi. Perkataan eksperimen sangat penting karena demokrasi itu bukanlah suatu hal yang tumbuh atau terwujud begitu saja, seperti kalau kita membuat bangunan atau ketiban (kejatuhan) meteor dari langit, tetapi dia meng-ada, menjadi ada karena pengalaman, atau lebih tepatnya tidak saja karena _experience_ tapi karena _experimentation_, karena dicoba. Bukan karena suatu hal yang statis melainkan dinamis, maka pasti tidak bisa sekali jadi. Tidak ada _instant_ demokrasi. Tidak ada demokrasi _instant_. Yang sekarang sedang kita lakukan atau yang sedang terjadi di Indonesia, di negara kita, adalah eksperimentasi dengan demokrasi. Dan setiap eksperimentasi seperti itu selalu melibatkan proses-proses yang bisa membawa kita kepada proses-proses coba-coba dan salah,_trial and error_. Hanya saja tentu kita harus menjaga begitu rupa jangan sampai kesalahannya itu begitu besar dan fatal, sehingga bisa membatalkan seluruh perolehan dan seluruh proses yang sudah baik. Kalau demokrasi kita jadikan sebagai pusat perhatian kita di sini, maka barangkali penting sekali kita menyadari bahwa eksperimentasi kita tentang demokrasi itu belum ada contohnya. Semuanya dimulai dari nol, jadi tanpa preseden, tanpa anteseden. Memang barangkali ada argumen bahwa kita dulu pernah melakukan eksperementasi demokrasi, yaitu tahun 50-an yang disebut sebagai demokrasi liberal, tetapi gagal. Apakah memang itu yang kita maksud dengan demokrasi ataukah sesuatu yang lain.

Pentingnya ekperimentasi ini karena juga demokrasi itu sendiri banyak sekali versinya. Di Eropa misalnya seperti Norwegia, Swedia, Belanda, Luksemburg, kemudian Belgia, semuanya kerajaan. Yang republik hanyalah Swis dan mungkin Irlandia. Kita bisa menyebut sekarang ini Jerman, Perancis dan Italia juga demokratis, tapi harus melalui krisis yang luar biasa akibat dari Perang Dunia ke II. Jadi, artinya sama dengan di Jepang, demokrasi Jerman, Perancis dan Italia itu harus dibayar dengan mahal sekali. Kebetulan, sedikit-sedikit saya belajar ilmu politik, dua tahun di Chicago dan barangkali baik juga dikemukakan di sini bahwa banyak orang berpendapat, di Eropa ini sebenarnya tidak ada demokrasi, tetap kerajaan. Sistem pemerintahannya adalah parlementer dengan raja yang sekalipun merupakan tokoh simbolik namun mempunyai kekuasaan yang, dalam saat-saat tertentu itu sangat besar. Dan pemerintahan itu bisa dijatuhkan sewaktu-waktu oleh parlemen. Dalam suatu analisa, ini sebetulnya adalah kelanjutan dari mentalitas kerajaan. Raja itu bisa membuyarkan pemerintahan sewaktu-waktu. Begitu tidak disenangi, bubar. Di Amerika tidak bisa. Di Amerika itu sistem pemerintahannya presidensiil, periodik 4 tahun dan selama 4 tahun tidak bisa dibubarkan. Memang ada kasus-kasus _impeachment_ seperti yang terjadi pada siapa itu, Wilson atau siapa itu yang menggantikan Lincoln ketika terbunuh, sekalipun dia selamat dengan kemenangan satu suara di Kongres. Dan kemudian juga hampir terjadi pada Nixon, tetapi Nixon dianjurkan untuk mengundurkan diri sebelum terkena _impeachment_ lalu diampunioleh penggantinya yaitu Ford. Dan yang terakhir hampir juga terjadi pada Clinton tetapi diluar dugaan banyak orang ternyata pembela Clinton jauh lebih banyak dari pada yang menghendaki _impeachment_ terhadap dia. Artinya, menjatuhkan presiden di Amerika itu bukan persoalan yang gampang, luar biasa sulitnya. Jadi presiden Amerika itu adalah pemimpin eksekutif yang paling kuat di muka bumi. Dengan begitu dia bisa melaksanakan tugas dengan baik sekali sehingga Amerika menjadi negeri seperti yang kita saksikan sekarang. Tradisi-tradisi Amerika itu memperoleh pengukuhan-pengukuhan melalui beberapa orang presiden. Tentu saja, yang pertama-tama seperti George Washington, kemudian Thomas Jefferson, kemudian John Adams dan sebagainya. Tapi juga misalnya Lincoln dan Rooseveld yang menjadi saingan dari Churchill, yang sayang sekali dia mati agak terlalu cepat sehingga digantikan oleh Dromen. Lalu muncul lagi ide ke-amerika-an dalam arti demokrasi yang seperti dikehendaki pada waktu Kennedy.

Bangsa kita ini oleh _founding fathers_ kita sebetulnya di desain meniru Amerika, tidak meniru Eropa. Karena itu sistemnya adalah presidensiil sekalipun periodenya tidak empat tahun melainkan lima tahun. Dulu tertanggu oleh karena adanya perebutan-perebutan politik dengan dalih bahwa Soekarno - Hatta itu bekas kobolator dengan Jepang sehingga kedudukan mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden itu rawan. Bahwa dengan tuduhan bahwa kemerdekaan adalah proyek Jepang, maka kemudian Syahrir meng-introdusir suatu sistem tiruan Eropa yaitu sistem kabinet parlementer. Yang kemudian dicoba dan dicoba dan akhirnya membawa kita kepada suatu kekacauan luar biasa dan akhirnya Bung Karno dengan dukungan militer mengambil oper melalui Dekrit 5 Juli tahun 59 dan kemudian Bung Karno secara agak terlambat - diukur dari keinginan pada sekitar tahun 1945-an - ingin melaksanakan suatu bentuk seperti yang mereka dambakan yaitu seperti Amerika tapi karena seperti yang saya katakan tidak ada contohnya dan semuanya harus dimulai dari nol. Maka Bung Karno pun terlibat dalam proses-proses coba salah coba salah dan sayang sekali bahwa yang dominan adalah kesalahannya dan kemudian kita terbawa terjerumus kepada malapetaka politik tahun 1965.

Untuk mengerti persoalan kita sekarang dan betapa rumitnya persoalan kita sekarang ini, dengan Gus Dur sebagai Presiden, kita harus memahami hal seperti itu. Jadi Indonesia itu, atau lebih tepat lagi diabsahkan sebagai ke-indonesia-an itu sebenarnya belum ada, masih dalam proses pertumbuhan, sekali pun proses pertumbuhannya itu alhamdullilah cepat sekali. Yang ada adalah konsep-konsep dalam benak para pendiri Republik kita : dalam benaknya Bung Karno, dalam benaknya Bung Hatta, Yamin dan sebagainya, orang-orang yang mempunyai pengaruh langsung terhadap tulisan Undang-Udang Dasar dan lain-lain. Sementara wujud konkretnya itu belum ada, sehingga ketika Bung Karno menjadi Presiden pertama kali tahun 1945, yang segera dususul oleh berbagai krisis, yang termasuk revolusi fisik sampai dengan akhirnya penyerahan kedaulatan, lalu dilanjutkan dengan tahun 50-an dengan eksperimen demokrasi parlementer tadi itu. Semuanya itu adalah suatu percobaan untuk mewujudkan dalam kenyataan, fikiran-fikiran mengenai apa itu Indonesia. Kalau ada sesuatu yang sangat konkrit mengenai Indonesia, itu tidak lain ialah bahwa Indonesia merupakan kelanjutan dari Hindia Belanda, hanya itu saja. Lebih dari itu, artinya lebih dari pada persoalan wilayah, teritoral dan kemudian birokrasi, semuanya itu masih harus diciptakan dari nol. Lebih-lebih lagi adalah, kalau kita boleh meminjam jargon komputer, adalah aspek perangkat lunaknya, software-nya. Jadi hardware ada, yaitu bekas Hindia Belanda, suatu wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang bukan main besarnya itu, karena kalau kita lihat di peta bola dunia, bukan peta datar tapi peta bola dunia, Sabang - Merauke itu sama dengan London - Teheran. Coba bayangkan, negara kita itu besar sekali. Sayang sekali, kalau kita bandingkan dengan apa yang dikatakan oleh majalah _Time_ dalam edisi millenium yang disitu memuat tokoh-tokoh yang dianggap paling penting pada abad yang lalu termasuk Lee Kuan Yu. Lee Kuan Yu dianggap sangat penting. Mengapa? Karena ia-lah orang yang sanggup mengubah sebuah negara mini menjadi negara raksasa. Jadi, tingkah lakunya Singapura itu seperti negara rakasasa. Sekarang ini _competitiveness_-nya itu nomor dua setelah Amerika. Kita ini terbalik. Kita ini negara besar, negara raksasa tapi tingkah lakunya seperti negara mini, seperti negara kecil, maka itu sering diabaikan, di mana-mana diabaikan.

Dulu pernah dilakukan oleh Bung Karno untuk tampil sebagai negara besar. Tapi sayang sekali agendanya terlalu berat ke politik, sehingga tidak mempunyai basis yang konkrit di dalam negeri dan karena itu ya_bubble, bubble-politics_. Kalau sekarang ini ada _bubble economics_, atau _bubble economy_, kalau dulu ada _bubble politics_. Negara yang besar ini _software_-nya itu, perangkat lunaknya itu sebetulnya masih sedang menjadi. Saya masih ingat pada waktu saya masih mahasiswa tingkat satu atau tingkat dua sekolah di IAIN, harus mengikuti latihan ketentaraan, latihan kemiliteran. Resiman Mahajaya, Resimen Mahasiswa Jakarta Raya, lalu dilantik oleh Bung Karno di Stadion Ikada, sekarang tidak ada. Stadion Ikada itu kurang lebih dekat Stasiun Gambir, depannya Kedutaan Amerika sekarang ini. Di situ Bung Karno pidato, antara lain menyinggung mengenai keinginan beberapa kalangan untuk memindahkan ibu kota negara kita dari Jakarta ke tempat lain. Disebut-sebut Bogor, Magelang, Malang. Itu kota-kota selain sejuk juga pedalaman yang oleh karena itu lebih bisa dipertahankan terhadap serangan dari luar. Kota-kota pantai mudah sekali jatuh ke tangan musuh. Fikiran-fikiran seperti itu ada pada tentara. Juga pernah terfikirkan Palangka Raya. Yang saya tidak bisa lupa itu bagaimana Bung Karno pernah menolak hal itu dengan keras sekali. _Saya tidak setuju, saudara-saudara. Mengapa? Karena sampai sekarang belum ada kota Indonesia selain Jakarta. Yang lainya itu adalah kota daerah_. Kalau ada kota Indonesia yang ke dua setelah Jakarta itu Medan. Jadi Indonesia itu modelnya Jakarta dan Medan. Surabaya, biarpun dari segi ekonomi nomor dua setelah Jakarta itu tapi itu kan kotanya Bapak Duta Besar. Kotanya orang Madura dan orang Jawa yang suka bertengkar itu. Bandung, sebesar-besar Bandung, itu kota Sunda. Jadi, itu semuanya kota etnis dan kota daerah. Kota Indonesia itu baru Jakarta dan kedua Medan. Lalu apa yang menjadi ukuran?. Bahasa Indonesia dan masih ada lagi yang sedikit abstrak yaitu menjadi orang modern, orang abad ini. Jadi perangkat lunak bangsa kita itu mendapatkan pengukuhannya dalam bahasa Indonesia yang pada tahun 1928 - pada waktu Sumpah Pemuda - dipilih bibitnya dari bahasa Melayu, dialek Riau. Jadi Riau itu sebetulnya pemilik Indonesia yang sebenarnya. Cuma di sana tidak ada kota yang cukup besar. Sekarang ini, dalam rangka membangun kembali kesadaran Indonesia yang lebih pas, lebih _balance_ dan lebih adil, kita harus tahu bahwa bahasa Melayu yang berkembang di Riau itu yang puncaknya antara lain karya-karya sastrawan Melayu yang namanya Raja Ali Haji. Yang menarik sekali, bukan orang Riau tapi orang Bugis. Raja Ali Haji itu orang Bugis. Kemudian bahasa Melayu Riau itu sendiri adalah kelanjutan dari bahasa Melayu yang mulai berkembang dari Aceh.

Urutannya begini:proto Malay, bahasa Melayu proto-nya itu sudah ada sejak jaman Sriwijaya,dan kerena sifat dari kerajaan Sriwijaya yang maritim, yang sangat banyak bersandar kepada kehidupan laut dan perdagangan serta pelayaran, maka bahasa Melayu sudah menjadi perangkat Asia Tenggara sejak abad-abad itu. Tapi, ibarat kata-kata Takdir Alisyahbana, ketika dia jengkel sekali dengan pemerintahan kita yang tidak pernah memperhatikan perkembangan bahasa Indonesia : hanya cukup untuk membeli cabe di pasar, maka dari itu disebut sebagai Melayu pasaran. Yang pertama kali mengangkat menjadi bahasa buku, menjadi bahasa literatur itu orang Aceh, yaitu pada abad ke 15 dan ke 16, ketika Aceh sudah menjadi kesultanan, ya Islam. Aceh mengikuti contoh-contoh yang ada di dunia Islam yang lain, yaitu misalnya yang ada di Iran atau di India, yang nota bene India sudah menjadi pusat kerajaan Islam sejak abad ke 8, artinya sudah 7 abad sebelum Aceh. Yaitu negara-negara yang orientasi negaranya itu Islam dan karena itu menggunakan huruf Arab untuk menuliskan bahasa-bahasa mereka, sekalipun mereka tidak berbahasa Arab. Jadi bahasa Persi ditulis dalam bahasa Arab. Bahasa Persi, bahasa Urdu, semuanya ditulis dalam huruf Arab.

Ali Sadikin pernah membuat suatu kesalahan yang lucu - fatal sih tidak, tapi orang men-tertawakan-nya ketika dia memimpin rombongan _Asian Games_ ke Teheran, pada waktu dia menjadi gubernur. Rupanya dia kecewa dengan _Organising Committee_ dari _Asian Games_ Teheran itu, lalu mencak-mencak ke sana ke mari, menggoblok-goblok-kan orang-orang Arab: _Ini negara Arab memang goblok_. Dia tidak tahu bahwa Iran itu bukan negara Arab, orang Iran itu bukan orang Arab, itu orang Persi. Tapi karena tulisannya itu semua huruf Arab, maka dikira orang Arab. Sama saja dengan teman saya dari Amerika, yang untuk pertama kali di Indonesia melihat tulisan-tulisan latin. _This is English but I do not understand what this is_. Jadi, dikira yang latin itu bahasa Inggris. Dulu, Turki Osmani juga menggunakan huruf Arab untuk menuliskan bahasa Turki Osmani. tetapi kemudian karena Kemal Attaturk mau jadi modern tetapi salah paham mengenai modernitas, lalu mengganti huruf Arabdengan huruf latin. Aceh, dulu mengikuti contoh itu. Maka kemudian menggunakan huruf Arab untuk menuliskan bahasa Melayu. Yang menarik sekali waktu itu tidak disebut sebagai bahasa Melayu tapi disebut bahasa Jawi. Dan huruf Arab yang untuk menuliskan bahasa itu disebut huruf Jawi. Mengapa?. Karena dalam pandangan orang Arab di Mekkah sana, semua orang Asia Tenggara itu semua Jawa. Dan orang-orang dari Asia Tenggara yang pergi ke sana selalu disebut orang Jawi. Di antara orang-orang yang naik haji ke sana itu banyak orang Minang, yang selain membawa rendang yang memang bisa awet itu banyak membawa belut. Orang Arab itu mengira itu ular, maka ada sebutan di kalangan orang Arab: Orang Jawa itu makan ular.Itu maksudnya orang Minang makan belut. Jadi disebutnya huruf Jawi dan bahasa Jawi. Karena itu ada tafsir yang sangat populer di pesantren, namaya tafsir Baidawi, diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab. Itu disebutnya tafsir Baidawi terjemah bahasa Jawi dalam tulisan Jawi. Mengapa saya sebutkan semuanya ini?. Pertama, salah satu kejengkelan di Aceh ialah bahwa porsi hak sejarah mereka itu tidak diakui. Secara guyon, saya katakan kepadateman-teman dari Aceh bahwa anda tidak mungkin keluar dari Indonesia. Bahasa Indonesia itu berasal dari anda. Yang anda bisa lakukan adalah anda men-diskualikasi-kan orang Jawa sebagai orang yang tidak cukup syarat sebagai orang Indonesia. Karena pernyataan Jawi itu maka huruf Melayu yaitu huruf Melayu dalam bahasa Arab di Malysia, di Patani (Thailand selatan), di Brunei, di Singapura, di semua kantong-kantong Muslim di Asia Tenggara itu semuanya lalu disebut huruf Jawi. Maka saya pernah ketemu di bulan September tahun yang lalu dengan DR. Surin Pitsuan, Menteri Luar Negeri Thailand. Dia itu namaya Abdul Halim sebenarnya, anaknya kyai dari Patani. Kalau saja Thailand itu Republik, pasti dia jadi presiden, dia luar biasa. Saya tanya Surin, kalau kamu nanti sudah bosan dengan politik, kamu mau ngapaian. Ya, saya pulang memimpin pesantren saya, karena sekarang sedang dipegang oleh Ibu. Setelah itu saya akan kerja sama dengan negara-negara tetangga untuk menghidupkan budaya Jawi. Jadi saya kaget, orang Thailand menghidupkan bahasa Jawi. Lalu saya kejar, apa maksud anda menghidupkan huruf Arab untuk bahasa Melayu dan saya akan bekerja sama dengan Indonesia, dengan Singapura, dengan Brunei, dengan beberapa kantong orang-orang Melayu di Asia Tenggara. Tanpa menyebut orang-orang Indonesia. terpaksa saya katakan: Anda melupakan orang-orang Indonesia sebab semua itu berasal dari Aceh. Itu dari Aceh. Jadi, _software_ Indonesia itu dari Aceh. Bapak-bapak dan ibu-ibu, harus tahu itu. Memang kemudian setelah diangkat sebagai bahasa nasional dari dialek Riau tadi itu yang mengerjakan lebih lanjut adalah orang-orang Minang. Mengapa orang-orang Minang? Karena bahasa Melayau ini bahasa Sumatra dan orang Sumatra itu memang lebih dekat secara kultural dengan bahasa Melayu. Kemudian orang Minang adalah orang Sumatra yang paling tinggi tingkat pendidikannya di zaman Belanda. Kemudian mereka pun mempunyai kemajuan pesat sekali di dalam pembinaan bahasa Melayu ini, sehingga menjadi bahasa Indonesia modern. Sehingga sekarang ini kita mewarisi suatu Indonesia, sehingga kalau dibuat suatu _check-list_ dari sudut politik tingginya, itu semua berasal dari Minang. Seperti kata-kata dewan, rakyat, musyawarah, mufakat, hakim, makamah, hukum, adil. makmur. Banyak berasal daribahasa Minang dan berasal dari bahasa Arab.

Kalau saya katakan: Wakil-wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat berhasil membahas masalah-masalah hukum ketertiban dan keamanan demi terwujudnya masyarakat adil makmur dan disiarkan ke seluruh wilayah dan daerah. Itu semuanya bahasa Arab!. Semuanya bahasa Arab. Yang bahasa Indonesia itu cuma demi, dan, dengan. Wakil itu bahasa Arab, Rakyat itu bahasa Arab, Dewan, Majelis, Musyawarah, itu bahasa Arab, hasil, membahas, masalah, hukum, aman, tertib, semuanya bahasa Arab, dan seterusnya. Ini penting sekali, karena itu jangan lupa. Karena itu Saya heran sekali, gedung di Senayan itu disebut Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat, tapi kamar-kamarnya itu mengingatkan kita kepada New Delhi, karena namanya itu nama-nama Sansekerta. Saya bilang kepada Pak Sahid Husein itu : _Pak Sahid, sampeyan itu orang Arab, namanya juga Arab, tapi kok Jawa banget gitu_. Itu kan banyak dari dia itu. Ini, anda ini kerewang atau bagaimana. Jadi balas dendam, ini terlalu berat Sumatra, sekarang diimbangi dengan berat Jawa. Orang Jawa itu simpanan budayanya ada dalam bahasa Sansekerta. Memang kita tadi, seperti yang saya katakan tadi, peranan orang Sumatra itu besar sekali, sehingga bisa dibuat suatu simplifikasi bahwa orang Indonesia itu dari segi _software_-nya itu Sumatra.Kemudian tensi antara keduanya berlangsung terus dengan skor masing-masing. Kalau dari segi bahasa dan budaya dan _soft ware_ itu yang bersifat perangkat lunak, Sumatra menang. Bahasa Indonesia sukses sekali, sehingga bahasa-bahasa daerah terancam mati, termasuk bahasa Jawa. Sekarang bahasa Jawa itu sedang dalam proses kematian, dengan indikasi tidak seorang-pun yang menulis dalam bahasa Jawa. Nggak ada, nggak ada yang membeli. Orang Jawa-pun, kalau ketemu untuk pertama kalinya hanya sekedar keakraban akan bicara bahasa Jawa. Tapi kalau sudah menginjak hal yang serius, pasti pindah ke bahasa Indonesia. Jadi bahasa Jawa sekarang sedang dalam proses kematian.

Tapi di bidang lain skor itu ada pada orang Jawa, yaitu dari segi budaya birokrasi. Budaya priyayi itu menang, orang Jawa. Jadi di birokrasi itu - ini penting karena nanti kita akan menghadapi masalah demokrasi. Demokrasi itu adalah egaliterisme, adalah faham kebersamaan manusia, adalah keterbukaan, adalah segala macam yang sering kita sebut-sebut itu. Sementara itu di negara kita sekarang ini atau bangsa kita sekarang ini didominasi oleh orang Jawa dalam birokrasi. Jadi, maaf saja saya juga orang Jawa. Maka kita menghadapi suatu mentalitas priyayi-isme, pangkat-isme. Orang Jawa itu obsesinya cari pangkat. Mereka belum merasa hidup terhormat sebelum punya pangkat. Dan pangkat itu setidak-tidaknya adalah kedudukan. Itu adalah feodalisme. Menjadi priyayi. Coba orang Jawa itu dulu - saya kira sekarang sudah berubah - dulu kalau mengirimkan anaknya ke sekolah: sekolah, nak, yang baik-baik, nanti kan menjadi priyayi. Ini persoalan kita. Kesadaran pangkat ini, _situs consciousness_ itu tinggi sekali. Karena itu ada anekdote - ini cerita ke dua, maksudnya bukan dari saya sendiri. Seorang teman wartawan dari Jakarta ketemu Paul Wolvowitz di Zurich, waktu itu dia sudah selesai dari tugasnya sebagai Duta Besar di Jakarta dan pulang menjadi Asisten Menteri Pertahanan, kemudian ia diundang ke Swiss. Ketemu di _airport_ dengan wartawan Indonesia yang memang akrab. Memang Wolvowitz akrab dengan orang Indonesia kerena isterinya sendiri adalah ahli tari Jawa dan ahli bahasa Jawa. Orang itu kemudian senang sekali ketemu dengan Wolvowitz yang berkata : _Saya senang sekali ketemu dengan sesama orang Indonesia_. Bagaiman sesama orang Indonesia. _Ya, saya sekarang ini menjadi orang Indonesia betul-betul_. Teman kita ini senang sekali. _Bukan, maksud saya sekarang saya sudah seperti pejabat Indonesia, tas saya sudah ada yang membawakan_.Disindir habis-habisan. Lalu teman kita mengatakan: _kalau kalau kamu menjadi orang Indonesia, nggak cukup tasnya dibawakan, kacamata juga harus dibawakan_. _Teks pidato pun harus dibawakan orang_. Presiden Amerika itu mana ada yang teks (pidato)- nya dibawakan orang. Ambil dari sakunya kalau pidato. Ini adalah _situs consciousness_ yang merusak segala macam. Dan banyak sekali cerita-cerita seperti itu.

Saya sendiri- kalau ini cerita tangan pertama - dengan Wolvowitz.Saya dengan isteri, waktu itu di Amerika, terus saya tilpon Wolvowitz.Paul, saya ingin ketemu. Waktu itu is sedang menjadi Asisten Menteri. Oh, ya, betul deh, kita harus ketemu, tapi saya repot sekali. Anda bisa nggak mengatur acara anda, hari ini tanggal sekian jam sekian. Di New York saya akan masuk Hotel Astoria. Kemudian saya mempersiapkan diri, saya ke sana, ke New York, sesuai dengan hari dan jam yang ditentukan. Dan kami berdua, saya dan isteri menunggu dia di Hotel Astoria itu. Tiba-tiba dia masuk sendirian. Lalu saya lihat antri untuk mendaftarkan masuk hotel itu. Asisten Menteri. Lalu saya tepuk dari belakang, eh Paul, kok sendirian. _Memang saya orang Indonesia_ dia bilang begitu. Anekdote-anekdote yang sangat ilustratif, refleksi dari keadaan kita. Ini persoalan kita yang kita hadapi sekarang ini. Bagaimana kita bereksperimen dengan demokrasi dalam masyarakat yang paternalistik dan feodalistik. Padahal ketika para pemuda pada tahun 1928 mengadakan kongres. Patut diketahui meskipun mereka itu dalam rumusan Sumpah Pemuda itu memilih bahasa nasional itu bahasa Melayu tapi sebetulnya yang menyertai kongres itu kan sebagian besar orang Jawa, sebagian besar itu pemuda Jawa tetapi pemuda Jawa yang sudah berpendidikan modern, pendidikan Belanda. Yang karena pendidikan modern-nya mereka merasa kikuk berbahasa Jawa karena terlalu hirarkis, terlalu sartafikasi karena itu mereka lebih suka ngomong dalam bahasa Belanda atau untuk keperluan ringan dengan sesama Melayu berbahasa Melayu karena mereka tidak mau memilih bahasa Jawa sebagai bahasa nasional. Meskipun ada satu dua yang mau tapi akhirnya _overwhelm_, kalah suara. Bayangkan kalau bahasa nasional itu bahasa Jawa. Bagamana kalau kita kepada Bapak Duta Besar sekarang ini, harus kromo inggil, begitu.

Dari segi antropologi, negara kita itu dirancang oleh para pendiri kita menurut atau mengikuti pola budaya pesisir, bukan pola budaya pedalaman. Karena itu yang dipilih adalah bahaya Melayu. Tetapi karena yang berpengalamana untuk menjadi birokrasi dan militer itu orang Jawa pedalaman, maka kemudian tarik menarik itu terjadi dan banyak bergeser ke sini. Mengapa orang Jawa itu baik menjadi birokrat? Karena orangJawa itu - ini terus terang saja, dari seluruh suku di Asia Tenggara itu yang berwatak imperialistik itu orang Jawa. Mereka sudah mempunyai suatu riwayat panjang untuk memerintah dalam ukuran besar. Itu orang Jawa. Coba bayangkan, guyon-nya. Kalau di Jawa betul-betul raja, kalau di Batak kan Rajaguguk. Jadi ditempat lain itu, kecuali bangsa Melayu, tapi terlalu berat ke maritim, maka yang pernah berkuasa di _last years_ itu orang Jawa, karena itu mereka ada _attitude_ yang lebih tinggi untuk berkuasa. Juga militer. orang Jawa betul-betul, kalau berkelahi, berkelahi benar-benar. Bukan bertengkar mulut begitu dan kerena itu orang Jawa sangat baik untuk menjadi tentara, terutama daerah-daerah Bagelan. Karena itu jenderal-jenderal banyak yang berasal dari sana. Dari Kebumen, Purworejo, Purwokerto, semuanya dari sana. Mereka itu jago berkelahi semua.

Kalau bapak-bapak - ibu-ibu mendengar kalau misalnya bagaimana - minta maaf kepada teman-teman yang berasal dari Sulawesi Utara - bagaimana tentara mengalahkan Permesta itu luar biasa. Itu Benny, salah satu heronya adalah Benny, Benny Murdiani itu. Dia merangkak mendekati bukit tempat orang Permesta yang berminggu-minggu tidak bisa ditaklukkan dan senjata-senjata berat itu diangkut dengan laso: jadi laso dilempar ke atas dulu, kemudian baru ditarik, orang Permesta itu tidak menduga sama sekali, hancur mereka itu. Itu orang Jawa. Jadi _hardware_ itu adalah orang Jawa. Alhamdullilah, hal itu sekarang sudah terbuka. Hal-hal seperti ini bisa dibicarakan dengan enak, nggak ada lagi stigma. Sebetulnya persoalan Indonesia itu adalah tensi antara pola budaya pantai dengan pola budaya pedalaman. Tensi itu memang cenderung kalau sudah mengenai _hard ware_, mengenai perangkat kerasnya dimenangkan oleh budaya pedalaman, karena mereka lebih solid.

Ada hirarki, ada ketegasan siapa yang memimpin dan siapa yang dipimpin. Orang pantai kan seperti pasir di pantai itu, semburatan. Tetapi,kalau dilihat dari segi cita-cita mengenai demokrasi, mengenai egalitarisme, mengenai kosmopolitanisme, mengenai keterbukaan, mengenai mobilitas, itu orang pantai. Sekarang masalahnya tentu saja semuanya mempunyai andil dan harus memberikan sumbangan, maka tensi antara pesisir dan pedalaman itu ya memang seperti yang saya katakan tadi mengenai bahasa Indonesia, karena dulu didominasi oleh orang Sumatra, maka seluruh peristilahan itu dari Sumatra dan dari bahasa Arab. Setelah orang Jawa yang mula-mula kikuk berbahasa Indonesia itu sekarang sudah mulai bisa berbahasa Indonesia. Jawa dan Sunda itu relatif sama mentalitasnya. Ketika mereka sudah bisa berbahasa Indonesia, maka mereka memberikan kontribusi yang besar sekali. Tetapi karena simpanan budaya berada dalam bahasa Sansekerta maka istilah-istilah dalam bahasa Sansekerta itu muncul. Tiba-tiba ada istilah Sasono Langeng Budoyo, Sang Karya Nugraha. Apa itu ?!. Coba bayangkan orang Amerika jika memberikan istilah-istilah itu dalam bahasa Latin atau bahasa Yunani. Itu, kan nggak masuk akal. Tetapi itu pendulum. Pendulum itu bergerak terus begini. Nah, sekarang jadi dari ekstrim sini, Sumatra, jadi ekstrim Jawa Sunda, sekarang mulai bergerak ke tengah lagi. Indikasinya antara lain ialah nama-nama kamar di Senayan sudah diganti semuanya dan mulai banyak lagi istilah-istilah dari Sumatra, seperti makalah misalnya dan macam-macam itu. Sehingga nanti, ketemunya itu yang hendak kita songsong, Indonesia itu ketemunya di Pekalongan. Pekalongan itulah model Indonesia - pantai tapi Jawa, Jawa tapi pantai, dan dagang, kan. Jadi itu semuanya ada : orientasi dagang, egaliter, sedikit urakan gitu ya, mobilitas tinggi. Dan indikasinya sudah ada, ibu-ibu saudara-saudara sekalian. Dan apa?. Ini, teman-teman wartawan tahu. Dunia kewartawanan dan seni itu didominasi oleh orang Pekalongan. TIM itu, Taman Ismail Marzuki itu didominasi orang-orang Pekalongan. Begitu juga penerbitan-penerbitan majalah itu Pekalongan melulu, dengan tokoh-tokohnya seperti Goenawan Mohammad, kemudian Taufik Ismail dan sebagainya dan sebagainya itu. Jadi, siap-siaplah jadi orang Pekalongan. Ha, ha, ha.

Maksud saya, Indonesia akan segera menjadi Indonesia benar. Jadi, sekarang kita akan segera melihat suatu proses ke-indonesia-an dari Indonesia, sehingga semakin hari semakin Indonesia. Memang agak aneh kedengarannya. Tapi, maksudnya, kalau Jakarta sebagai model tadi itu, menurut Bung Karno itu kan makin menjadi tiruan kan, bahasa-bahasa prokem-nya pun Jakarta semua. Itu jadinya sekarang ini di seluruh Indonesia. Dan ini antara lain adalah peranan dari Pak Harto. Barangkali, bapak-bapak ibu-ibu kaget. Maksud saya, pada tahun 70-an itu Pak Harto sudah memikirkan untuk membuat atau mempunyai suatu satelit komunikasi. Waktu itu saya masih sekolah di Chicago, saya sering diledek oleh teman-teman Amerika: Eh, kamu nih negara miskin punya satelit segala, sok banget. Ternyata yang disebut Palapa itu mempunyai efek yang luar biasa, karena memudahkan komunikasi seluruh Indonesia, termasuk baik komunikasi _one to one_ langsung seperti tilpon, maupun yang_broadcast_ seperti televisi dan radio. Akibatnya seluruh Indonesia menjadi lebih homogen. Sayang sekali Pak Harto ini - orangnya puinter sekali,cerdas sekali, tetapi sayang sekali nggak sekolah. Maksud saya pinternya itu IQ-nya tinggi sekali. Itu semua orang cerita. Emil Salim itu gedek-gedek kepala. Dia (Pak Harto) sewaktu jadi presiden itu tidak tahu sama sekali ekonomi. Dia denger saja. Setelah sepuluh, belasan tahun, jangan coba bicara angka di depan Pak Harto. Kalah semua para ekonom itu. Luar biasa, Tetapi karena dia tidak sekolah, maka dia tidak punya visi tentang negara modern. Visinya mengenai kekuasaan adalah visi Jawa tradisional, wayang dan kerajaan. Jadi, kalau tadi saya sebut Bung Karno, yang ekperimen gagal tadi itu, lalu diganti oleh Pak Harto, kira-kira kalau saya karikaturkan kira-kira Pak Harto bilang : Ah Bung Karno itu ngawur deh, saya nggak mau itu, dari pada ambil resiko, saya akan selesaikan Indonesia dengan cara Jawa. Itu tekadnya. Jadi, dengan cara Jawa betul. Jawanya Jawa Kemusu lagi.

Bagi teman-teman yang bukan orang Jawa harap jangan terlalu banyak membuat _stereotype_. Itu sering, Indonesia itu hancur gara-gara orang Jawa. Saya katakan, ya, itu orang Jawa Tengah bukan orang Jawa Timur. Tapi kalau kita pergi ke Jawa Tengah, orang Jawa Tengah sendiri protes, kita nggak ikut-ikut, itu orang Yogya. Kalau kita ke Yogya, Sultan itu sangat anti Pak Harto. Sebelum Pak Harto jatuh sering ketemu saya. (Sri Sultan) : _Saya dengan Pak Harto itu seperti imbangan_. Kalau saya ke bawah dia naik, kalau saya naik dia ke bawah. Itu Sri Sultan, Sultan yang sekarang ini. Karena itu dia berhak mengatakan, Yogya nggak ikut-ikut. Karena itu demonstrasi terbesar menentang Pak Harto kan di Yogya. Jangan lupa itu. Ya, kalau begitu bukan orang Yogya, orang Bantul deh. Di Bantul itu pernah ada bupati yang meninggalkan mesjid yang besar itu sangat anti Pak Harto. Jadi, kalau begitu orang Godean. Segera setelah dikejar ke Godean, katanya orang Kemusu. Setelah ke Kemusu, orang Kemusu bilang, nggak, kita nggak iku-ikut, ya Pak Harto sendiri aja. Memang dalam pergaulan itu menjadi lancar dan enak itu karena _stereotyping_. Tapi kalau _stereotyping_ itu dikejar, itu persoalan. Seperti yang saya ceritakan, _stereotiping_ itu ada persoalan statistik. Itu persoalan _statistical propability_, rata-rata statistik-lah. Jadi misalnya begini, coba itu bayangkan, betul-betul saya tidak terima itu, mengenai kampanye bahwa di Indonesia betul-betul terjadi pemerkosaan terhadap gadis-gadis Cina oleh orang-orang Islam. Kita tidak usah mengingkari adanya pemerkosaan, barangkali memang terjadi, tetapi mengapa disebut oleh orang-orang Islam. Ya, bagaimana tidak oleh orang-orang Islam, 90 persen bangsa Indonesia itu orang Islam. Jangankan yang enak-enak seperti memperkosa, yang lain-lain seperti yang konyol pun orang Islam juga kan. Dengan menangkap copet di jalan pun orang Islam. _Stereotiping_ seperti ini berbahaya sekali. Dan juga misalnya, waktu itu saya di Swiss, mestinya saya ikut itu waktu adanya Ciganjur empat orang itu, kelompok Ciganjur itu, Amien Rais, Gus Dur, Mega, sama Sri Sultan. Ternyata ada protesnya juga, kenapa semuanya orang Jawa. Itu hanya statistik, nggak disengaja. Dan waktu itu nggak disadari. Kemudian diperluas, Ciganjur plus di Wisma Yani itu dua belas orang, semuanya orang Jawa lagi. Kita nggak menyadarinya, besoknya itu banyak tilpon. Kenapa ini orang Jawa semuanya. Itu statistik. Jadi, kita jangan mudah jatuh kepada _stereotyping_ seperti itu, karena itu akan menyulitkan, sebab banyak sekali persoalan-persoalan tentang politik adalah soal psikologis akibat dari _stereotype-stereotype, akibat dari gebyah uyah gambang-gambangan itu. Sekali lagi, kita menghadapi tantangan-tantangan seperti ini. Pak Harto itu, karena tidak sekolah tadi, maka dia tidak tahu wawasan negara modern, lalu kalau bapak-bapak ibu-ibu membaca bukunya Sumarsono 'States and State of Craft', Pak Harto kira-kira mengikuti itu. Tetapi karena ada kombinasi antara soliditas budaya pedalaman yang saya sebutkan tadi sangat hirarkis dengan pembagian kerja yang tegas, garis komando yang tegas, maka Pak Harto bertahan selama 32 tahun. Bung Karno hanya enam tahun. Pada tahun 1945, kemudian diganti Syahrir, terus kemudian menjadi Presiden lagi sejak Dekrit tahun 1959 sampai jatuhnya di tahun 1965, itu hanya enam tahun. Pak Harto 32 tahun. Selama 32 tahun itu Pak Harto melakukan apa yang dilakukan, sebagian besar menurut saya itu baik tetapi ibarat pepatah susu sebelanga rusak oleh nila setitik, maka Pak Harto hancur, oleh aspek etika dan moral. Tetapi etika dan moralnya adalah etika dan moral sosial, bukan etika dan moral pribadi. Kalau Bung Karno itu persoalannya etika dan moral pribadi. Dia punya banyak _tabungan_. Pak Harto tidak ada, sama sekali tidak ada. Mungkin karena takut sama Bu Tien, barangkali ya. Nggak ada, tetapi dia mempunyai cacat, _socio ethics_, etika sosial, yaitu yang kita sebut sekarang KKN itu.   Dulu, karena kakek saya, nenek saya itu di Giri dan saya di Jombang, saya itu sering diajak ayah saya dan ibu ke Giri. Saya masih ingat, itu agenda tahunan. Artinya harus dirancang dalam setahun. Karena persoalan betul untuk pergi dari kampung saya di Jombang ke Giri itu. Tapi sekarang ini, itu agenda jam-jam-an. Yuk, kita pergi ke Giri sekarang, ada keperluan. Kebetulan adik saya di Semen Gresik dan mengawasi materialisasi di sana, jadi orang-orang kampung itu: Kita perlu ke Gresik untuk minta uang. Jam-jam-an. Karena apa?. Karena jalan tersedia, tilpon ada. Tilpon ke sana dulu. Dan juga angkot, angdes, angkutan desa itu juga ada. Itu adalah berkat Pak Harto. Kita tidak boleh lupa itu. Ada listrik, segala macam itu. Malah sekarang ada PAM, Desa Bulukan ada PAM, di Jombang itu ada air minum. Ini adalah berkat Pak Harto. Tapi ini suatu pelajaran yang luar biasa, yaitu ternyata seorang pemimpin dari sebuah bangsa itu tidak akan dikenang dan dihargai begitu tinggi hanya karena prestasi-prestasi material. Tetapi yang selalu menjadi ukuran adalah moral. Adalah etika dan moral, yaitu seberapa jauh dia bisa memberikan sumbangan dari segi kemanusiaan itu, dari segi nilai kemanusiaan itu sendiri. Yang itu, Pak Harto luput sama sekali, sehingga terjadi suatu proses yang saya sebut sebagai pembangunan bangsa yang tertunda, _delayed nation building_. Di zaman Bung Karno, biarpun salah-salah, tapi ada istilah _nation building_. Pada waktu Pak Harto sama sekali tidak ada. Padahal masih banyak sekali yang masih harus dibangun, termasuk aspek _software_-nya itu tadi, maka kemudian Pak Harto jadi korban. Ironisnya, sebagian itu akibat dari kebijakannya sendiri. Dia itu mendirikan sekolah-sekolah dimana-mana dan dia lupa bahwa orang itu kalau sudah sekolah jadi pinter. Maksudnya begini, ada jargon di kalangan ahli pendidikan itu yang disebut _unintended consequent_, konsekwensi tak terduga dari orang sekolah. Jadi begini, ternyata yang penting itu, kalau orang itu sekolah itu tidak hanya tujuan spesifik. Yang masuk kedokteran akan menjadi dokter, tapi yang lebih penting itu kadang-kadang ialah melalui sekolah itu ia menjadi terpelajar, _educated _. Itu yang lebih penting. Ia menjadi lebih _articulate_, mampu menyatakan fikiran, segala macam segala macam. Itulah yang terjadi pada Pak Harto, pada periode Pak Harto. Banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi didirikan, kemudian banyak sekali orang yang terpelajar. Relatif sebetulnya itu. Artinya, kalau dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita, kita masih sangat ketinggalan. Tetapi, sudah cukup untuk melahirkan suatu enerji politik akibat akumulasi dari artikulasi, yang Pak Harto tidak memperhitungkan dan memukul dia. Dilihat dari situ, Pak Harto menjadi korban dari kesuksesannya sendiri. Sebetulnya contoh-contoh seperti itu sudah banyak. Mangapa tahun 1905 bangkit kebangsaan di Indonesia. Karena Belanda memperkenalkan pendidikan modern pada bangsa Indonesia sejak _etische politiek_ tahun 1901. Jadi adalah juga _unintended consequent_. Begitu juga ketika Bung Karno masuk ke THS (Technische Hoge School) untuk menjadi insinyur, tetapi dia menjadi pemimpin dari bangsanya untuk merebut kemerdekaan. Yang terakhir Timtim persis. 400 tahun dijajah oleh Portugis. Orang Timtim itu dibiarkan hidup di zaman batu. Mengenal uang saja, tidak. Yang disebut jual beli itu, di Timtim waktu itu, pada hari Minggu misalnya orang berkumpul di depan gereja membawa barang-barangnya, natura. Kemudian dibunyikan bel gereja, kemudian ditukar, tukar menukar, misalnya dari gunung membawa ketela, dari pantai membawa garam. Itu lah yang disebut jual beli di jaman Portugis. Kemudian diambil olehbangsa kita. Kita didik, kita sekolahkan sampai ke tingkat universitas. Hukum pendidikan berlaku, dia menjadi _articulate_ dan bangsa kita sendiri menjadi sasaran. Itu logis, memang begitu. Dan Pak Harto sebenarnya menjadi korban itu. Karena itu sebetulnya - maaf kalau saya menyebutkan diri sendiri - kita sendiri sudah mengingatkan Pak Harto melalui Moerdiono dan sebagainya. Pak Moer, kamu hati-hati, nanti kamu jadi korban keberhasilan sampeyan sendiri. Lalu bagaimana. Pak Harto itu harus mengangsur untuk mendemokratisasikan negara kita. Tirulah itu George Washington. George Washington itu oleh Amerika dulu sebetulnya diinginkan jadi raja, dia menolak. Presiden saja. Setelah jadi presiden dua periode, sebenarnya dikehendaki supaya terus. Dia tidak mau, cukup dua periode. Itu yang menjadi konvensi, bahwa di Amerika hanya dua perode. Perode pertama Pak Harto kita anggap dia menjadi presiden gratis karena nggak pakai Pemilu, begitu kan.Setelah itu menjadi presiden 1971 dan seterusnya terus-menerus menjadi presiden lagi. Maka saya pulang tahun 1984, wah ini cukup Pak Harto dan oleh karena itu, ya kemudian kita bilang harus ada partai oposisi, dan sebagainya harus ada keterbukaan. Sebetulnya ideal sekali kalau Pak Harto pada tahun 1987 itu betul-betul turun atau dalam perode 1984-1987 itu betul-betul merintis demokratisasi sehingga proses perkembangan itu tidak terjal seperti sekarang ini, tetapi landai, begitu. Sudah ada angsurannya. Tapi dasar nggak sekolah, jadi Pak Harto nggak mengerti soal begitu itu. Jadi susah. Akhirnya, ya, terjadilah apa yang telah terjadi. Maka perkembangan kita itu terjal sekali, mendadak sontak. Jadi, ibarat naik gunung itu bukan landai begitu tapi terjal. Ini yang membikin semua kekacauan sekarang ini. Kaget. Dulu, sebetulnya kita sudah ingatkan dengan metamorfosa macam-macam, misalnya air yang muncrat, ibarat terowongan dengan aliran air tekanan tinggi, diujungnya kan muncrat, begitu. Sudah kita ingatkan begitu. Tetapi, ya, oke, sekarang kita terima keadaan ini, tapi yang sekarang kita perlu melihat ke depan. Ini bagian akhir Sekarang kita punya seorang presiden yang namanya Gus Dur, nama lengkapnya Abdurrahman Wahid, seperti namanya Bapak Duta Besar saja, mirip. Maksud saya, ya ini, ya mungkin karena saya mempunyai latar belakang ilmu sosial, itu penting sekali kita perhatikan. Mengapa? Baru saja kita hidup dalam suatu mitos atau ya dongeng. Anggapan salah bahwa yang bisa menjadi presiden hanya orang Jawa dan orang Jawa-nya harus punya nama 'o', Soekarno, Soeharto. Mitos ini hancur oleh Habibie. Ini ada orang luar Jawa, meskipun kadang-kadang ngaku Jawa sampai mencari kuburan kakeknya di Purworejo itu. Tapi namanya, Bahruddin Yusuf Habibie, begitu kan, artinya Arab. Ada seorang antropolog Australia mengatakan bahwa orang Jawa itu bisa dikenali tingkat-tingkatnya itu dari nama. Ada empat tingkat, yang tertinggi adalah mereka yang mempunyai nama Sansekerta. Wijoyo Nitisastro. Yang kedua adalah nama Sansekerta Jawa dan namaya hanya satu, Soekarno, Wilopo, Sartono, Soeharto. Justru ini yang paling dinamis di kalangan orang Jawa, karena ke atas nggak nyampe, ke bawah nggak mau. Oleh karena itu dinamis sekali. Yang disebut mentalitas kelas menengah, itu kan begitu. Yang ketiga, ya ini, nama Arab, Abdurrahman Wahid. Yang ke empat yang namanya khas Jawa seperti Poniman, Paijo. Jadi, jika bapak-bapak dan ibu-ibu melihat dari situ, makna Gus Dur jadi Presiden itu besar sekali dari segi antropologi. Semua ini buyar sudah. Karena itu kalau kita melihat ke belakang, ada hal-hal yang sering kita lupakan terutama dari para pengikut Masyumi, bahwa kaum Masyumi itu dipimpin oleh kaum priyayi. Jangan lupa, nama orang Jawa, Soekiman Wirosanjoyo, Kasman Singodimejo, Yusuf Wibisono, Syafruddin Prawiranegara. Itu semunya priyayi. Yang membikin mereka itu Islam kan Haji Agus Salim. Kalau tidak karena faktor haji Agus Salim, mereka jadi PNI semua. PNI, nasionalis semua itu. Nah, yang kalau NU itu betul-betul Arab. Arab, semuanya itu. Nah, sekarang ini, melalui Gus Dur itu, suatu segmen dalam masyarakat yang paling ter-ingkari di zaman Belanda dan juga di jaman republik yang paling sulit hidupnya untuk naik. Jadi, secara kultur antropologi, hal itu penting sekali. Kebetulan orang Jombang lagi, kan lumayan. Dan orang NU ini adalah orang pertengahan antara kebudayaan pantai dan pedalaman. Ada unsur pantainya, karena santri, tapi ada unsur pedalamannya karena orang Jawa. NU itu sangat Jawa atau ya Jawa lah begitu. Artinya ke-NU-an itu bisa dikenali tidak hanya dari apa yang disebut _ahlus sunnah wal-jamaah_-nya. Kalau _ahlus sunnah wal-jamaah_, orang Sunda nggak mau bergabung sama NU. Hanya sedikit sekali. Orang Sunda. Kan begabung dalam PUI. Kalau orang Sumatra Barat PERTI, kalau orang Indonesia Timur Darul Da_wah wal Irsyad, kalau orang Nusa Tenggara Barat _Nahdatul Wathan_. Itu semuanya atas nama jemaat. Mengapa tidak mau ke NU, karena NU itu Jawa. Jadi, NU itu ada unsur ke-jawaan-nya. Tetapi karena Islam, kemudian ada unsur kepantaiannya. Jadi pertengahan, belum jadi Pekalongan, masih rada ngidul sedikit, begitu. Lha, ini masalahnya. Sekarang ini kita menghadapi persoalan itu, maka begini. Kita harus selamatkan proses ini. Paling tidak selama lima tahun ini harus sedemikian rupa, negara kita berkembang sehingga betul-betul terjadi perataan lahan bagi bangunan demokrasi yang hendak kita buat. Kita mengalih dari persoalan itu, maka begini. Kita harus selamatkan proses ini. Hendak kita buat. Belum dibuat. Mengapa? Karena lima tahun ini di bawah Gus Dur itu adalah periode - itu tadi - perataan lahan. Ibarat di sebuah bidang, kita ingin membuat bangunan baru seperti sebuah demokrasi, di situ sudah terlanjur ada bangunan-bangunan lama, itu fungsinya Gus Dur, tugasnya Gus Dur adalah membuldoser itu semuanya dan kebetulan Gus Dur itu mampu. Luar biasa, karena orangnya nekat. Itu, fikirannya (dia) itu _saya tidak kehilangan apa-apa_. Pernah pada tahun 1982 ke Amerika, mampir ke tempat saya di Chicago. Dia bilang begini kepada saya, Cak Nur, saya ini menyadari bahwa saya ini keturunan orang umur pendek. Lho, kok gitu, Gus Dur. Iya, coba lihat itu, paman-paman saya semuanya mati muda, kecuali Pak Ud. Lalu ngapain. Pokoknya, sebelum mati saya akan berbuat sesuatu. Tiba-tiba jadi Ketua Umum NU segala macam itu. Jadi dia itu ada unsur nekat dan unsur nekat itu yang membuat dia itu mampu melakukan sesuatu seperti terhadap Wiranto dan terhadap tentara. Belum pernah tentara itu tunduk pada seorang presiden. Bung Karno pun tidak, Bung Karno pun tidak mau, dilawan oleh Nasution cs. Pak Harto, ya terang saja ia militer, tentara. Habibie nggak berbuat apa-apa, masih kelanjutan dari Pak Harto. Jadi lahan sudah diratakan. Cuma, sayangnya Gus Dur ini wali. Paling tidak wali-_walidaiya_. Lha wali itu, ini Mas Hambali pasti lebih tahu dari saya. Wali itu Dikenal istilahnya _sattahat_ yaitu keluar ucapan-ucapan tidak terkontrol. Itu yang bikin sulit. Ada saja ucapan Gus Dur bikin sulit orang. Dari segi garis besar, dari segi visi besar, luar biasa. Inilah orang yang tepat, tampil pada saatnya. Misalnya toleransi, inklusivisme, inklusivitas, dan kemudian juga non-sektarianisme. Apalagi Gus Dur itu punya obsesi dari dulu, sudah saya perhatikan, membela dan melindungi kelompok minoritas. Aneh sekali orang ini. Ada obsesi itu dari dulu, sejak saya kenal, itu. Ini persis yang diperlukan oleh Indonesia. Maka, kalau kita akan menyelamatkan proses ini dan menyelamatkan visi ini dan kemudian tadi saya katakan bahwa dengan bekal-bekal seperti itu, toleransi, inklusivitas, jadi mengajak semuanya, lalu non-sektarianisme, maka kita harapkan dalam lima tahun ini, Indonesia, negara kita berkembang membentuk suatu pola hubungan masyarakat yang tidak lagi ada orang yang merasa dipinggirkan, yang ter-marjinalisasi. Jadi, mengapa itu penting?. Begini bapak-bapak, ibu-ibu. Hasil Pemilu tahun 1999 kemarin itu banyak sekali unsur suara protes, suara marah. Saya tidak tahu, seandainya tidak ada suara marah itu P3 begitu besar, eh, PDI itu begitu besar. Coba bayangkan, Sidoarjo itu dari dahulu adalah _bastion_-nya P3. Kemarin ini, PDI yang menang. Jombang, PDI yang menang. Coba bayangkan, orang Madura yang sebelumnya nggak pernah tahu soal PDI itu. Jadi ada suara protes .. dan itu tidak hanya PDI-P tapi juga yang lain-lain ada unsur itu. Artinya apa? Itu artinya peta politik yang dihasilkan itu belum asli, masih banyak sekali unsur marah. Bisa dideteksi sekarang ini. Banyak sekali yang menyesal memilih PDI itu. Lho, kok gini. Tahu gitu, nggak ah. Begitu, kan. Nah, kita sekarang harus ciptakan dengan menggunakan wawasan Gus Dur itu suatu masyarakat dimana kita tidak lagi ada orang yang merasa dipinggirkan. Sehingga nanti dalam Pemilu tahun 2004, ketika orang itu memilih sauatu partai bukan karena marah tapi betul-betul karena mendukung partai itu. Sehingga nanti peta politik akan menjadi positif. Itulah sebenarnya fondasi yang sebenarnya dari demokrasi. Sekarang belum bisa.Berdasarkan fondasi itu kemudian kita bina demokrasi. Seperti yang tadi saya sebut, tidak ada yang instan, maka waktu dua puluh tahun, satu generasi. Kalau tahun 2005 kita mulai, kira-kira tahun 2025 baru kita bisa menyaksikan benar apa tidak, sukses apa tidak. Sebab, lagi-lagi dalam dunia pendidikan, kita ada jargon begini : kalau mau panen dalam waktu tiga bulan, ya tanam jagung. Kalau sudah tanam kelapa, ya harus berani tunggu lima tahun. Nah, persoalan demokrasi, persoalan semacam itu adalah namanya _human capital investment_ atau _human investment_, tanaman manusia itu _the time of response_-nya , jangka waktu untuk menunjukkan hasil atau tidaknya itu satu generasi. Kalau itu harus sabar, karena apa, karena sama dengan menanam kelapa itu, memasukkan cikal ke tanah, ya jangan berharap besok berbuah, harus berani menunggu, selama lima tahun tidak melihat apa-apa. Kalau kita dalam soal pembinaan demokrasi itu mengharapkan besok memetik buahnya, ya buyar, dan pemetikan buah itu kalau kita ingin pangkat itu tadi. Ya, saya sudah cape-cape, saya dong yang jadi menteri, ya susah kalau begitu. Ya harus begitu, baru nanti kalau tahun 2025, Insya Allah, kita bisa wariskan kepada anak cucu kita sebuah Indonesia yang demokratis, yang persoalannya, yang masalahnya, yang problemnya itu diselesaikan sekali ini dan untuk selamanya. _Once and for all_.
Itu, bapak-bapak ibu-ibu. Terima kasih.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Thursday, February 17, 2005

Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki

Oleh: Emha Ainun Nadjib

ADA kesombongan orang berkuasa. Ada kesombongan orang kaya. Ada kesombongan orang pandai. Juga ada kesombongan orang saleh.

Kita awali dengan suatu identifikasi elementer. Semua orang adalah rakyat, tetapi kalau ada penguasa, maka yang dimaksud dengan rakyat tentu mereka yang dikuasai. Rakyat adalah yang miskin, rakyat adalah yang bodoh, dan rakyat adalah yang selalu belum saleh.

Identifikasi yang lebih ke tingkat praksis, rakyat selalu adalah pihak yang diatur pihak yang berkuasa. Kenyataan ini punya peluang amat besar untuk bertentangan dengan asas hakiki demokrasi, serta amat mencurigakan dipandang dari rasionalitas dan proporsi manajemen
kenegaraan dan kebangsaan. Seorang polisi bisa terjebak untuk menganggap dirinya adalah penggenggam hukum, dan rakyat adalah wilayah terapan hukum.

Kemudian konteks kesombongan orang kaya: dalam wacana pembangunan di hampir semua kalangan, selalu rakyat adalah pihak yang disebut harus
dan sedang diberdayakan dari kelemahan ekonomi, dientaskan dari kemiskinan, dan diselamatkan dari keterpurukan.

PANDANGAN ini amat laknat terhadap kenyataan bahwa sebenarnya rakyat adalah pemilik kekayaan amat melimpah dari tanah rahmat Tuhan bernama Republik Indonesia. Namun, kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh tiap penguasa. Dan setiap penguasa selalu tidak tahu diri berlagak menjadi pahlawan yang akan melakukan perubahan dari kondisi miskin rakyat menuju tidak miskin.

Menurut parameter teknis statistik perekonomian dunia, rakyat Indonesia memang rata-rata miskin, namun kenyataannya rakyat adalah
pengupaya ekonomi yang luar biasa di bawah atmosfer kejahatan negaranya sehingga aneka upaya berekonomi kerakyatan itulah yang
berjasa mempertahankan negeri ini dari kebangkrutan total.

Kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas kesejahteraan rakyat, menikusi administrasi keuangan negara milik
rakyat, mencuri dengan berjemaah dan dengan modus-modus yang makin tidak kasatmata. Namun, ubet ekonomi rakyat, "budaya kaki lima" yang
cair dan longgar, menciptakan semacam "pernapasan dalam" yang membuat rakyat terus survive meski hampir tak ada suplai udara dari negara.

Puluhan kali, bahkan mungkin ratusan atau ribuan kali, para penjahat penunggang negara melakukan penipuan, penilapan dan pencurian
besar-besaran atas harta rakyat yang diamanatkan manajemennya kepada negara. Namun, ribuan kali pula rakyat sukses mempertahankan diri
mereka dari kebangkrutan total.

Meski demikian, siapa pun yang sedang berpamrih ingin berkuasa dan ketika kemudian benar-benar berkuasa: selalu dengan kemantapan dan
keangkuhan luar biasa, menyatakan akan dan sedang menyelamatkan rakyat dari kebangkrutan.

KEMUDIAN konteks kesombongan orang pandai. Tak ada subyek yang lebih nyata yang selalu diasosiasikan sebagai golongan penyandang
kebodohan, melebihi rakyat. Rakyat adalah orang bodoh, karena setiap kali orang menjadi pandai, ia menjumpai dirinya bukan rakyat lagi.

Hampir setiap orang yang diam-diam menggolongkan dirinya sebagai orang pandai, merancang diri untuk melakukan pemandaian atas rakyat.
Pejabat memberi penerangan terhadap kegelapan dan kebodohan rakyat. Calon-calon sarjana mengajari rakyat selama kuliah kerja nyata. Kaum
intelektual menyebar aneka wacana untuk mendobrak kesempitan wawasan rakyat. Duta-duta informasi dan komunikasi menabur ilmu dan pengetahuan agar rakyat melek dunia.

Bahkan mahasiswa masuk kuliah hari pertama bisa terjebak anggapan diam-diam di dalam dirinya, mulai hari itu ia melangkah meninggalkan
kebodohan rakyat yang kemarin masih jadi bagian darinya. Kapan ada rezim tumbang, harus mahasiswa yang direkognasi sebagai pelaku
utama. Sebab, agent of change mustahil pelakunya adalah rakyat.

DAN akhirnya yang paling khianat, yang paling menyakitkan hati, yang mungkin Tuhan pun tidak rela: adalah tradisi kesombongan orang saleh.

Rakyat dikasih pengajian tiap hari seakan-akan rakyatlah yang paling jahat hatinya dan paling kotor hidupnya. Malam rakyat diulamai, pagi mereka dipastori, siang mereka dipendetai, sore mereka dibegawani. Rakyat dibimbing agar beriman seakan-akan rakyat adalah siswa-siswi taman kanak-kanak. Rakyat disantuni, diajari bagaimana menata kalbu, padahal tak ada pakar penanggung derita yang tingkat keahlian dan kemampuannya melebihi rakyat.

Jika Quran menyebut "berimanlah kepada Allah", yang dituju adalah rakyat, bukan ustadz atau ulama. "Wahai orang-orang kafir"-itu kemungkinan besar rakyat, mustahil Pak Kiai. "Dekatkanlah dirimu kepada orang saleh"- maksud Tuhan tentu hendaknya rakyat
mendekat-dekat kepada ustadz, bukan ustadz mendekat-dekat dan belajar kepada umat.

Bahkan dai, mubalig, ustadz, ulama, dijunjung-junjung, namun dengan
parameter industri dan ukuran feodalisme, untuk akhirnya ditertawakan dan ditinggalkan rakyat yang memiliki feeling dan jenis pengetahuan sendiri tentang siapa ulama siapa pencoleng, siapa ustadz siapa bakul pasar.

ADA semacam feodalisme naluriah dalam psikologi kita, mungkin karena
tak pernah sembuh dari trauma penjajahan fisik dan nilai yang tak
pernah usai dalam kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan kita. Kalau
mendengar kata "rakyat", tanpa sengaja langsung ada perasaan look
down dan menemukan yang bernama rakyat itu ada di dasar jurang dari peta
nilai yang kita kenal tentang kemanusiaan dan kebudayaan.

Saya menduga naluri feodalisme, kelas dan "kasta" itu tidak menjadi
kikis misalnya oleh pengalaman intelektual atau kesadaran demokrasi
atau egalitarianisme. Misalnya, rakyat "yang paling rakyat" adalah
pembantu rumah tangga. Tak sedikit contoh bagaimana seorang profesor
doktor, pejabat tinggi, atau ulama memperlakukan pembantu rumah
benar-benar sebagai "pembantu rumah tangga" yang hampir berkonsep
mirip perbudakan. Rumah tangga awam terbukti bisa lebih egaliter,
santai, dan demokratis kepada pembantu rumah tangga.

Salah satu latar belakangnya mungkin karena peningkatan pendidikan
masih tidak mandiri dari stratifikasi kelas budaya. Makin tinggi
tingkat pendidikan seseorang, makin menumbuhkan perasaan lebih
unggul dan lebih tinggi derajatnya sebagai manusia. Dunia pendidikan tidak
punya concern mendasar terhadap nilai kedewasaan sosial, kerendahan
hati kemanusiaan, kematangan jiwa atau demokrasi kebudayaan.

KARENA kecurangan feodal juga kemudian: TKI-TKW, umpamanya, "rakyat
yang paling rakyat" lainnya, kita pandang sebagai faktor noda dan
kehinaan sebagai bangsa. TKW dijadikan suku cadang utama kalimat
penghinaan atas diri kita sendiri. Kita nyeletuk dengan hati yang
merasa nyaman dan puas: negeri lain mengekspor produk-produk
teknologi bergengsi peradaban tinggi, sementara negara kita mengekspor TKI-TKW.

Dan, kita tidak melakukan apa pun yang lain kecuali menghina dan
merendahkan TKI-TKW, anak-anak kita sendiri. Tidak menolong mereka,
tidak membela mereka dalam kasus-kasus mengerikan yang menimpa
mereka. Sebuah LSM di Jakarta melaporkan sekurang- kurangnya ada tiga juta
kasus TKI-TKW di luar negeri tanpa satu pun pernah dibereskan pihak
yang berwajib dan digaji untuk pekerjaan menangani nasib TKI-TKW.

Pekerjaan kita hanya menghina sambil pada saat bersamaan
memanfaatkan mereka di rumah tangga kita masing-masing. Kehidupan sehari-hari
rumah tangga kita amat bergantung pada mereka, upah yang dibayarkan kepada
mereka adalah jumlah gaji yang tidak pantas untuk penghidupan
manusia, plus bonus penghinaan dalam hati, cara berpikir dan tradisi perilaku
budaya kita atas mereka.

Dengan begitu, kita adalah serendah-rendahnya dan sehina-hinanya
manusia sehingga karena itu pula kita memiliki keperluan untuk
menghina mereka. Semakin hina dan rendah jiwa seseorang, semakintinggi kebutuhannya untuk memperhinakan sesamanya. Memang secara psikologis demikian itulah formula survival kejiwaannya.

Bahkan kalau mereka pulang ke Tanah Air, sudah disiapkan lembaga dan
birokrasi yang khusus melakukan dua pekerjaan hina. Pertama,
menyiapkan terminal dan gate khusus untuk memperhinakan mereka.
Kedua, kebijakan memperhinakan diri sendiri dengan cara memeras uang jerih
payah mereka bekerja hina bertahun-tahun di negeri orang.

Pemerasan itu berlangsung eskalatif dari tahap ke tahap. Resmi
maupun liar. Dan, puncak kehinaan kita adalah memperlakukan para koruptor
keluar masuk bandara sebagai raja, sementara TKI-TKW yang balik
kampung menguras uang dari luar negeri untuk sumbangan besar kepada
devisa negara justru kita injak-injak martabatnya.

BANGSA yang hina melahirkan generasi demi generasi hina, memilih dan
menjunjung presiden dan menteri-menteri hina, mengutus dan menggaji
perwakilan-perwakilan hina, sambil menyusu dan mempekerjakan
orang-orang yang dihina, menikmati kerja dan makanan anak-anak
terhina itu sambil terus memelihara di hati dan otak hinaan-hinaan atas
mereka.

Pada kenyataan hakikinya, rakyat adalah Ibu Bapak sejarah yang kita
TKITKW-kan sepanjang masa. Rakyat adalah TKI-TKW di genggaman tangan dan di bawah injakan kaki para pemegang tongkat sejarah, baik
tongkat kekuasaan politik, modal, wacana, dan informasi. Rakyat yang ditipu
terus-menerus. Yang dibodohi dari era ke era. Yang dipecundangi dari
periode ke periode. Yang namanya disebut, dikomoditaskan,
diatasnamakan oleh setiap yang sedang berkepentingan untuk menguasai
mereka, kemudian melupakan dan melecehkan mereka begitu kekuasaan
itu tergenggam di tangannya.

Yang tidak pernah digubris hak-hak dasarnya. Yang kemuliaan posisinya
dipakai sebagai mahkota kekuasaan, namun dalam praktik pundak mereka
ditunggangi dan kepala harkat demokrasi mereka dibenamkan ke bagian
bawah rendaman cairan air liur teori-teori dan pidato-pidato demokrasi.

Rakyat yang hanya punya satu kegiatan kenegaraan: yaitu dikempongi oleh kekuasaan, gigi-gigi kekuatan sejarahnya dibikin rampal sehingga mulut kedaulatannya kempong. Rakyat yang bisa dipukuli kapan saja, dikelabui pagi hari diakali sore hari, dininabobo siang hari dicuri miliknya malam hari.

RAKYAT yang diperhinakan oleh gaya kepemimpinan yang memakai merah darah mereka sebagai gincu. Rakyat yang dibodohi sehingga akhirnya tidak lagi mengenal kebodohan. Rakyat yang terus-menerus dan terlalu lama dihina sehingga akhirnya benar-benar menjadi hina tanpa tersisa sedikitpun kesadaran dan pengetahuan bahwa mereka hina.

Jangankan membedakan mana kehinaan mana kemuliaan di dalam
kompleksitas kehidupan berbangsa, sedangkan sekadar bermain sepak bola kalau kalah tak tahu kenapa kalah dan kalau menang salah menemukan sebabnya kenapa menang.

Visi, wawasan, ilmu, identifikasi, dan pemetaan nilai-nilai dan realitas telah menjadi suatu jenis seni rupa impresionis instan. Kehidupan intelektual yang menjadi muatan utama komunikasi dan informasi sudah mengalami aneka pecahan, pengepingan-pengepingan, syndrome of disconnected awareness. Bahkan dalam mengomentari pertandingan tinju, dalam satu ronde kita mengalami pergantian parameter sampai empat-lima kali, saking tidak mendasar dan tidak menentunya prinsip ilmu pertinjuan kita.

Bangsa yang sekaligus mengalami ketersesatan intelektual, politis, kultural, spiritual, bahkan ketersesatan teknis untuk soal-soal yang sangat sederhana. Mencari Tuhan, yang didatangi dukun. Mencari ulama, yang dikejar pedagang. Mencari orang pandai, yang ditunggu pelawak.
Mencari soto enak, pergi ke tukang tambal ban. Mencari pemimpin, yang dijunjung bintang film. Mencari bintang, yang diburu meteor. Mencari tokoh, yang disongsong perampok. Plastik diwarnai keemasan, emas dijadikan ganjal lemari. Nasi diperlakukan sebagai kerupuk, terasi didewakan sebagai makanan utama.

Bangsa yang kehilangan parameter hampir di segala bidang. Bangsa yang memilih langsung presidennya, namun tanpa melewati pijakan substansi demokrasi. Bangsa yang ditenggelamkan oleh air bah informasi tiap hari, namun semakin tidak mengerti apa yang seharusnya mereka mengerti. Bangsa yang sudah kehilangan ukuran apakah mereka sedang
maju atau mundur, apakah mereka sedang dihina ataukah dimuliakan, apakah mereka pandai atau bodoh, apakah mereka menang atau kalah. Bangsa yang peta identifikasi dirinya makin terhapus, sebagai manusia, sebagai rakyat, atau bangsa.

Bangsa yang-sesekali-menjalankan hukum, namun tanpa kesadaran dan hikmah hukum, tanpa kesanggupan untuk mengapresiasi nikmatnya berkebudayaan hukum. Bangsa yang sangat tampak secara wadak sedang menjalankan ajaran agama, namun hampir tak terdapat pada perilakunya dialektika berpikir agama, tak ada kausalitas mendasar antara input dan output nilai agama. Bahkan terdapat diskoneksi ekstrem antara praksis kehidupan beragama dengan hakikat Tuhan.

YANG paling beruntung dalam kehidupan sepanjang ada sejarah umat manusia adalah Pemerintah Indonesia. Karena semakin hari rakyatnya semakin tidak paham apakah pemerintahnya berhasil atau gagal. Semakin tidak memiliki kepekaan dan sasmita apakah mereka dicintai atau tidak oleh pemerintahnya. Semakin kehilangan ukuran apakah dari pemerintahnya mereka sedang memperoleh kesetiaan dan semangat pengabdian, ataukah pengkhianatan dan proses-proses penghancuran.

Sungguh siapa saja yang duduk dalam struktur pemerintahan negeri ini adalah "Kiai Bejo", "Kiai Untung" atau "Kiai Hoki". Orang yang mendapatkan keuntungan meskipun tanpa bekerja. Salah satu pemeo membuat rumus: orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang bejo.

Setiap Pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pemeo itu,sebab mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya, dan bejo.

* Budayawan

Kompas - Kamis, 17 Februari 2005

Monday, February 14, 2005

Nemu Website bagus

Critanya siang ini dapet forward-an email bagus dari Ustadz Hafit, judulnya Anak Kecil. Saya telusur lewat google nemu subernya dari websitenya komunitas muslim di Delf. Cukup menjanjikan isinya. Bisa nyaiingin KMII di Jepon.
Begini nich isi cerita anak kecil yang ditulis oleh M Reza.


Anak Kecil
oleh: M Reza

Bukan..! Saya bukan mau cerita soal TK yang bilang SBY kayak anak kecil. Belum juga mau cerita tentang Kiki anak saya yang memang masih kecil, bukan tentang Ade Mauri teman Kiki anak saya yang juga masih kecil, dan bukan pula tentang seorang teman saya yang konon katanya sedang giat mencari ibu untuk calon anak kecilnya.

Mungkin yang agak cocok: tugas bercerita dari guru bahasa inggris yang harus dimulai dengan "I remember when I was young ..."

***

Banyak definisi anak kecil. Definisi anak kecil versi TK mungkin beda dengan definisi anak kecilnya teman-teman saya: Mas Gea, Uda Oki atau Teh Diah dalam satu diskusi. Toch yang saya ingin pake di sini definisi anak kecil versi saya sendiri... anak kecil itu anak yang masih kecil dan belum akil baligh.

Sepemahaman saya anak yang belum akil baligh ini dosanya belum dihitung, artinya dia masih murni, bersih dari dosa. Mungkin ini yang menjadikan anak kecil itu selalu lucu dan menggemaskan. Dengan melihat wajah seorang anak kecil saja, rasanya sudah senang dan terhibur hati ini. Mungkin ini juga yang menjadikan anak kecil begitu mudah menerima cahaya islam, mencerna islam dan mempraktekan nilai-nilai islam.

***

Jujur. Itu yang pasti. "Kata bapak, bapak sedang tidak ada di rumah", "Kata kakak, kakak sedang tidur" sering diucapkan anak kecil yang memang tidak mengerti apa itu berbohong dan mengapa orang harus berbohong.

Seingat saya, sewaktu kecil dan masih sering bermain-main dengan teman-teman sepermainan (yang juga masih kecil), tidak kurang-kurang kami berselisih, bertengkar bahkan kadang sampai berkelahi. Musuhan. Tapi rasanya jarang kami bermusuhan berlama-lama. Kadang pagi bertengkar siang sudah main bersama lagi, hari ini musuhan besok sudah berkawan lagi. Kadang, kalau esoknya beberapa dari kami masih diam-diaman, hanya dengan "Eh dosa loh musuhan lebih dari 3 hari!", segera kami pacantel (apa atuh ya pacantel teh bahasa Indonesianya?) dan setelah itu hilang semua pertengkaran.

Begitu takut kami kalau diceritakan soal neraka, kadang sampai tidak bisa tidur. Dengan kalimat "Makanya jangan nakal, jangan durhaka sama orang tua kalau engga mau masuk neraka " langsung menciut dan menurut kami pada ayah dan ibu. Begitu senang dan gembira bila diceritakan soal surga. "Wah enak ya Bu di surga mau makan apa aja langsung ada", "Di surga ada pohon yang buahnya permen engga?", "Sungainya dari sirop ya Pa?", sambil berseri-seri membayangkannya.

***

Kata Pa Ustadz, orang muslim tidak berkata dusta. Kata Pa Ustadz juga, seorang muslim tidak mendiamkan muslim yang lain lebih dari 3 hari. Masih kata Pa Ustadz, hati orang yang beriman akan bergetar ketakutan apabila diceritakan perihal neraka, dan akan sangat rindu saat diceritakan perihal surga.

Sulit...? Rasanya sulit... Tapi... anak kecil aja bisa!
Ditulis pada hari Rabu, 24 Maret 2004, 10:33 AM


design by pSword :: valid HTML 4.01 Transitional